Dulu hanya pemburu burung liar di hutan. Kini hari-hari Maimun sibuk ternak murai batu Aceh di belakang rumahnya.
Lengking kicau burung-burung itu lekas terhambur di radius belasan meter. Dan sangkar mereka tergantung di kayu dekat atap rumah, tali, hingga bambu posisi horizontal di ketinggian tiga meter.
Maimun—sang pemilik—menunjukkan kandang di sudut itu. Bentuknya mirip kandang ayam, tapi jeruji kawat dengan terali ukuran satu hingga dua sentimeter menjadi pelindungnya —selain papan. Melongok ke dalam, terlihatlah murai batu Aceh berloncat ke sana ke mari.
Saban pagi dan sore, Maimun cukup sibuk: memberi makan burung-burung peliharaan itu. Jumlahnya tak kurang dari 100 ekor yang ia rawat dengan tekun di belakang rumahnya di Gampong Ladong, Mesjid Raya, Aceh Besar.
Di kandang ukuran lebar 3-4 hasta itu, murai batu jantan dikawinkan dengan si betina. Ada yang sepasang saja, tapi ada pula yang “poligami”: satu jantan, 2-5 betina. Sejak kapan bisa dikawinkan? “Usia satu tahun,” kata Maimun, Jumat (3/11/2023).
Maimun membocorkan rahasia: ternyata pasangan murai batu tak bisa sekandang dengan pasangan lain. Bisa jadi setia bisa jadi cemburu. Tapi yang pasti, tiap ada jantan lain di satu kandang, ‘perang’ kerap meletup. “Betina tidak bertikai walaupun banyak di satu kandang,” katanya.

Saat musim kawin, tujuh hari lamanya saja si betina sudah bertelur. Dua pekan diperam sang induk, telur itu menetas secara alami tanpa bantuan Maimun. Sekali kawin, betina bakal menghasilkan dua sampai tiga ekor murai kecil.
Di usaha Sentral Murai Bird Farm itu, Maimun kini punya 20 pasang murai. Tiap bulan, ia setidaknya ada 30 ekor murai batu baru. Tapi, pasangan murai batu itu tidak selamanya dapat bertelur.
Menurut Maimun, setelah sembilan kali bertelur, murai akan tiba masa rontok bulu sehingga tidak bisa dikawinkan. “Sekitar 3-4 bulan kemudian baru bisa dikawinkan lagi,” kata Maimun yang memang paham benar proses itu.
Di satu kandang, Maimun mengasih lihat murai batu yang baru menetas: usia tujuh hari. Jumlahnya ada tiga. Belum terbang.
Burung-burung piaraan ini akan dijual Maimun. Peminatnya ramai: sekadar hobi pelihara hingga persiapan kontes kicau. Harganya? Usia 1,5 bulan Rp 2 juta per ekor, usia 8 bulan Rp 3 juta, dan yang ekornya panjang bisa mencapai Rp 8 juta. Harga ini dapat mencapai Rp 15-20 juta untuk murai yang siap diadu dalam kontes. Jangan terkejut. Ini standar saja di kalangan pencinta burung hutan ini.
Karena itu, tiap bulan dengan hitungan rata-rata, Maimun bisa mendapat Rp 20 juta. Tapi akhir-akhir ini, ia merasa pasar agak lesu. “Peminat ramai, tapi penjualan tipis,” katanya.

Dari Berburu hingga Beternak
Ladong dekat garis pantai. Tapi Maimun bukan seorang nelayan. Sejak kecil dia keluar masuk hutan mencari burung dan menjualnya. Baru sejak 2018 ia melakoni usaha ternak murai batu. “Karena baru ada ilmunya,” katanya. Sebelum itu, ilmu beternaknya sekelas kambing dan lembu.
Modalnya hanya empat pasang murai yang ia buru di hutan Lamteuba, Tangse, hingga Geumpang di pedalaman Pidie. Ia tidak membeli dari peternak lain. Bila ingin tambah induk murai, Maimun lekas masuk lagi ke hutan.
Selain makanan, perawatan penting lainnya adalah jemur dan menjaga sangkarnya tetap bersih. Lokasinya pun tidak boleh di tempat berisik: harus sepi. Sebab, ini berimbas ke kicau yang akan dihasilkan. “Ada suara kucing dan ayam saja tidak boleh,” katanya.
Saat kami terkesima karena lengking murai batu sore itu, Maimun bergeser ke sana kemari memberi pakan berupa ulat. Jenis makanan lain: jangkrik dan kroto.
Maimun menyebut makanan ini sebagai poding bagi murai. “Agar suaranya makin melengking,” kata pria yang pernah jadi penyuplai logistik Gerakan Aceh Merdeka ini.[]