Sejumlah kepala desa alias keuchik tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Aceh unjuk rasa di kantor gubernur Aceh, Jumat (19/4/2024) kemarin.
Menurut Ketua Apdesi Aceh Muksalmina, demonstrasi menuntut masa jabatan keuchik di Aceh harus sesuai dengan Undang-undang Desa hasil revisi yang disahkan DPR RI, yaitu menjadi 8 tahun tanpa batasan periode.
Selama ini UU Desa tersebut tidak dapat diterapkan di Aceh karena belum selaras dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Karena itu, mereka minta Pemerintah Aceh segera mengusulkan revisi UUPA agar masa jabatan keuchik di Aceh mengikuti standar nasional.
“UU Desa tidak dapat diterapkan di Aceh selama UUPA belum diubah,” kata Muksalmina kepada jurnalis.
Selain itu, Apdesi Aceh juga meminta penundaan pelaksanaan pemilihan keuchik yang masa jabatannya habis tahun ini, penunjukan penjabat keuchik diambil dari keuchik yang habis masa jabatannya, dan peningkatan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) minimal 10 persen untuk desa.
Sementara itu, Aliansi Rakyat Aceh (ARAH) justru menolak tuntutan perpanjangan masa jabatan keuchik di Aceh dari 6 tahun menjadi 8 tahun. Mereka menilai hal ini hanya akan memperpanjang masa jabatan keuchik yang bermasalah dan tidak transparan.
Koordinator ARAH, Ariza, Sabtu (20/4/2024), mengatakan banyak keuchik di Aceh bermasalah dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong (APBG) dan tersandung kasus korupsi. Perpanjangan masa jabatan hanya akan memperparah kondisi ini.
ARAH bahkan mengusulkan agar masa jabatan keuchik dipersingkat menjadi 4 tahun dalam satu periode, mengikuti negara-negara maju yang menerapkan masa jabatan kepala negara hanya 4 tahun.
“Sudah saatnya masa jabatan keuchik di Aceh direvisi menjadi 4 tahun dalam satu periode dan hanya bisa menduduki jabatan untuk 2 periode,” kata Ariza.[]