Tiap 12 Agustus, dunia memperingati Hari Gajah. Jumlah satwa lindung ini makin susut menyusul hutan kian sempit. Di Aceh, dahulu kala gajah jadi lambang keagungan sultan, tapi kini menjadi simbol konflik satwa liar.
Sultan Iskandar Muda beberapa kali harus singgah saat menempuh perjalanan dari Pidie ke Pasai pada masa kekuasaannya (1607-1636 Masehi). Sultan di masa puncak kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam itu berhenti untuk berburu gajah.
“Gajah dianggap bagian yang penting dari pasukan Aceh, dan lambang kedudukan tinggi,” tulis Anthony Reid, dalam buku Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia (2011).
Anthony mengutip kisah Sultan Iskandar Muda berburu gajah itu dari kitab Bustanus Salatin. Pada abad ke-17 Masehi, hutan-hutan Aceh masih terdapat banyak gajah. Tulisan-tulisan yang ada menunjukkan perburuan gajah banyak berada di dekat pusat-pusat pesisir di Kesultanan Aceh.
Sultan Iskandar Muda, menurut Anthony, konon memiliki 900 ekor gajah, dan menantunya Iskandar Thani memiliki 1.000 ekor.
“Paling tidak pada 1630-an dan 1640-an, gajah sama-sama merupakan lambang keagungan bagi raja-raja Aceh dan raja-raja Siam,” tulis Anthony.
Anthony yang mengutip Hikayat Aceh menulis bahwa Aceh tidak perlu pertahanan fisik karena semua gajah sangat kuat, berani, dan jumlahnya tidak terhitung. Berbeda dengan kota-kota lain yang dibentengi, sementara Aceh tidak, karena banyaknya gajah bertempur di situ.
Gajah turut digunakan dalam sejumlah perhelatan pernikahan yang luar biasa megah. Setelah serangkaian perayaan, puncak perhelatan adalah menembakkan meriam, dan diikuti arak-arakan dari dalam (benteng) dengan dua kali mengitari Masjid Raya Baiturrahman.
“Pasangan pengantin dikelilingi oleh semua pembesar istana dan barisan gajah dan kuda berhias mewah,” tulis Anthony.
Gajah turut berperan di upacara pemakaman Sultan Iskandar Thani pada Februari 1641 Masehi. Nicolaus de Graff yang menyaksikan upacara itu, sebagaimana dikutip Anthony, menulis ada 260 ekor gajah ikut dalam iring-iringan pemakaman.
Gajah-gajah itu berselimut kain sutra, emas, dan kain bersulam. Gading-gadingnya bertatah emas dan perak. Ada pula yang di punggungnya dilengkapi rumah-rumahan dengan rumbai-rumbai dari perak dan emas.
Gajah juga dilibatkan dalam sejumlah upacara lain, misal perayaan Iduladha. Menurut Anthony, Sultan Iskandar Muda turut menggelar pertarungan antara gajah yang dimaksudkan untuk memperagakan kekuatan serta melatih gajah dan pawangnya.
Gajah-Gajah Kini Berkonflik
Ratusan tahun berselang setelah masa Sultan Iskandar Muda, jalan cerita hikayat gajah-gajah telah berubah. Bukan lagi lambang kemegahan, tapi berada dalam pusaran konflik satwa yang tak berkesudahan.
Petani di Kabupaten Pidie, misalnya, sejak 2015 tidak bisa lagi berkebun dengan tenang setelah gajah-gajah liar keluar masuk kebun mereka. Keumala, Sakti, Tangse, dan Mila wilayah terparah konflik gajah-manusia di kabupaten itu.
Beberapa ekor gajah liar ditemukan mati di kawasan itu. Di sisi lain, manusia turut pula menjadi korban amukan binatang lindung itu. Warga Keumala, Muhammad Affan, misalnya, meninggal setelah diinjak gajah di kebunnya di Gampong Pako pada Jumat (28/10/2022).
Beberapa bulan kemudian, Fitriani warga Lhok Keutapang, Kecamatan Tangse, juga meninggal diamuk gajah liar pada Ahad (12/2/2023). Dan sampai saat ini, konflik satwa di daerah itu tak kunjung selesai.
Konflik satwa ini bukan saja di Pidie, tapi juga di kabupaten lain. Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sumatera mencatat konflik gajah-manusia di Aceh 582 kasus sepanjang tahun 2015-2021. Kematian gajah di Aceh mencapai 46 ekor.
Adapun jumlah populasi gajah liar di hutan Aceh, menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, pada 2020 tersisa 539 ekor.
Lantas, bagaimanakah alur kisah hikayat gajah Aceh di masa mendatang jika jumlahnya kian berkurang?[]