Menyongsong pesta demokrasi Pemilu 2024, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN Ar-Raniry Banda Aceh menggelar stadium general (kuliah umum) bertema Tata Kelola Kepemiluan. Kuliah umum yang berlangsung di kampus setempat, Rabu (15/3/2023), ikut menyoroti potensi konflik pada Pemilu yang untuk pertama kali akan digelar serentak di seluruh Indonesia.
“Sudah sepatutnya mahasiswa untuk peduli dan ikut berpartisipasi pada Pemilu 2024,” kata Dekan FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Dr Muji Mulia dalam sambutannya. Ia juga menyoroti kemungkinan menurunnya kualitas Pemilu jika para anak muda tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.
Dalam keterangan tertulis Humas UIN Ar-Raniry, aktivis Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, yang hadir sebagai pemateri memaparkan Pemilu 2024 merupakan Pemilu serentak satu hari terbesar, paling kompleks, dan rumit sedunia.
Menurutnya, kendala teknis seperti pengadaan dan distribusi logistik, terutama surat suara akan menjadi tantangan tersendiri pada Pemilu 2024 nantinya.
Pemilu 2024, lanjut Titi, juga akan dihadapkan pada profesionalisme dan integritas penyelenggara. Belum lagi persoalan serangan siber dan keamanan teknologi Pemilu.
Disisi lain, hal yang paling substantif dalam Pemilu, seperti kapasitas pemilih yang mencakup kesulitan dalam pemberian suara (invalid votes), tidak fokus pada pemilu legislatif, kurang peduli pada rekam jejak dan politik gagasan akan menjadi kendala dalam mewujudkan kualitas Pemilu yang baik.
“Juga akan terjadi kerentanan soal politik transaksional, hoaks dan disinformasi Pemilu di tengah propaganda global. Plus ketidaknetralan ASN,” sebutnya.
Meski demikian, kata Titi, terdapat peluang pada Pemilu 2024 dengan adanya pemilih muda dalam jumlah besar, media sosial yang aksesibel, dan masyarakat sipil yang dinamis.
“Karenanya, Pemilu 2024 tidak boleh ditunda. Ide penundaan Pemilu harus ditolak karena tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang,” tuturnya.
Dosen Ilmu Politik UIN Ar-Raniry, Arif Akbar, mengatakan Pemilu 2024 merupakan bagian dari proses demokrasi Indonesia. Untuk itu, mahasiswa harus cerdas dalam memilih karena kualitas yang baik akan lahir dari pemilih yang cerdas.
“Lihat program kerja dari pada calon, bukan memilih berdasarkan faktor suka atau tidak suka secara personal,” ujarnya.
Mirza Franzikri, Dosen Ilmu Administrasi Negara pada FISIP UIN Ar-Raniry, mengatakan potensi konflik muncul pada tahap pra, hari “H” pemungutan suara dan pascapemilu.
Pada tahap prapemilu, sebut Mirza, potensi konflik dapat muncul saat rekrutmen penyelenggara, pengolahan data pemilih dan penyalahgunaan wewenang penyelenggara.
Sedangkan pada tahap pemungutan suara, potensi konflik muncul karena hoax, money politic, intimidasi, mobilisasi massa, dan manipulasi data. Sementara pada tahap pascapemilu, potensi konflik dapat muncul saat rekapitulasi suara, intervensi kekuasaan, kerusuhan, dan polarisasi sosial.
“Di sini, peran mahasiswa dibutuhkan untuk mendeteksi secara dini potensi perpecahan, menghimbau untuk selalu menjaga kerukunan dan ketertiban. Siaga dan waspada terhadap potensi konflik dan senantiasa berkoordinasi dengan instansi terkait,” ujarnya. []