Elemen masyarakat sipil menyerahkan data 161 situs penyiksaan masa konflik selama 1989-2005 ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh pada Rabu (26/6/2024). Penyerahan ini sebagai submisi untuk kerja-kerja pengungkapan kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Data itu dikumpulkan elemen masyarakat sipil: KontraS Aceh, PASKA Aceh, AJAR, dan LBH Banda Aceh, sepanjang 2022.
Menurut Fuadi Mardhatillah, Wakil Koordinator KontraS Aceh, situs-situs itu diduga menjadi lokasi penyiksaan sejak era Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989 hingga akhirnya perdamaian Aceh pada 2005. Secara publik, data ini telah dirilis dalam peta digital.
“Inisiasinya untuk merangkum berbagai lokasi kasus penyiksaan di Aceh,” katanya.
Pada 2022, tim elemen masyarakat sipil turun ke berbagai wilayah di Aceh untuk mendapatkan informasi situs penyiksaan yang belum teridentifikasi.
Situs-situs itu tersebar di 12 kabupaten dan kota: Aceh Besar, Aceh Utara, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Timur, Bireuen, Banda Aceh, Lhokseumawe, Aceh Jaya, Aceh Barat, Bener Meriah, dan Aceh Tengah.
Manajer Program AJAR Indonesia Mulki Makmun mengatakan diduga terjadi penyiksaan fisik hingga mental di situs-situs itu pada masa konflik. “Kami temukan juga penyiksaan secara seksual,” katanya.
Beda dengan peta digital yang telah dirilis sebelumnya, menurutnya, dokumen yang diserahkan itu bersifat rahasia karena memuat informasi sensitif.
Direktur Paska Aceh Farida Haryani mengatakan apa yang tertuang dalam dokumen itu murni berdasarkan cerita penyintas. Para korban sampai saat ini disebut ada yang belum mendapatkan apa pun. “Jangankan bantuan, pendataan saja mungkin ada yang belum,” katanya.
Ketua KKR Aceh Masthur Yahya mengatakan akan memverifikasi ulang dokumen yang diterima itu. “Tindak lanjutnya adalah pendataan korban di tempat penyiksaan itu dan menjadikan itu sebagai tempat memorial, sebagaimana yang sudah dilakukan KKR Aceh,” katanya.[]