Penulis : Murthalamuddin
Teukeupak berarti terperanjat dalam bahasa Indonesia. Kastanya di atas teukeujot (terkejut). Teukeupak itu terjadi atas sesuatu yang luar biasa sehingga bikin terperanjat. Seperti akhir-akhir ini dengan isu Rumoh Geudong.
Dalam lintasan sejarah kontemporer Aceh, banyak sekali kasus kasus teukeupak. Saya mencoba merangkumnya berdasarkan ingatan dan pengetahuan saya. Bukan hasil riset atau pengumpulan data.
Pasca-Proklamasi 1945, Aceh menjadi daerah paling depan mempertahankan bayi republik. Tak sekadar defensif, tapi turut berperang ke Sumatra Utara (Front Medan Area). Lalu kemudian membantu perjuangan dalam bentuk materi. Biaya macam-macam dan membeli pesawat terbang, menjadi daerah modal, sebab menjadi satu-satunya wilayah Republik Indonesia yang tidak dikuasai NICA.
Pascapenyerahan kedaulatan dari Belanda, tetiba Aceh dapat pembalasan. Yaitu; Provinsi Aceh dilebur ke dalam Propinsi Sumatra Timur. Maka teukeupak elit Aceh atas ‘balas budi’ ini. Akibatnya meletus pemberontakan Republik Islam Aceh (RIA) yang berafiliasi ke DI/TII. Kemudian damai dengan lahirnya Ikrar Lamteh.
Karena Ikrar Lamteh tak memuaskan, teukeupak bersebab lahirlah Aceh Merdeka (AM) yang kemudian berakhir damai lewat sebuah perundingan di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 atau dikenal dengan MoU Hensinki.
Kejadian di atas untuk urusan politik. Urusan lebih kurang sama, banyak kejadian teukeupak setelah terjadi. Ribut-ribut, kecam-kecam dan protes tak pernah bisa melahirkan kebijakan yang komprehensif.
Pernah ingat Hotel Atjeh depan Masjid Raya Baiturrahman? Hotel bersejarah itu dibongkar untuk (rencana) dibangun baru. Baru setelah tiang tiang pancang dimasukkan ke bumi, orang teukeupak, maka protes pun berjibun. Pembangunan dibatalkan dan yang lama ka phak luyak. Hingga tinggallah tiang yang sekarang dicat pelangi. Tidak lagi bersisa bukti sejarah itu.
Begitu juga pascatsunami. Semua orang marah, menghujat dan protes terhadap temuan misi (diduga) pemurtadan di Aceh. Atau kasus orang-orang yang murtad. Ribut-ribut, kecam-kecam dan lainnya, Tapi sampai hari, kita tidak lihat arah kebijakan untuk memperbaiki hal ini.
Kasus adopsi anak anak korban tsunami, dan kasus viral lainnya. Bahkan sampai yang amat memilukan kita, heboh Gubermur Irwandi berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupis (KPK). Apakah kemudian melahirkan kehati-hatian dalam mengelola dana publik?
Bahkan ketika Universitas Syiah Kuala (USK) mengumumkan 80 persen mahasiswa baru tidak bisa baca Al-Qur’an. Macam-macam tanggapan orang-orang teukeupak. Tapi, tak ada evaluasi atau peta jalan agar kasus ini tak terulang. Padahal negeri kita menabalkan diri dengan syariat dengan ragam perangkat seperti Dinas Syariat Islam, dan Badan Pendidikan Dayah.
Generasi dulu melek Al-Qur’an, padahai enam gampong hanya ada satu balai pengajian. Sekarang, di satu gampong ada enam balai pengajian. Hasil sebaliknya.
Kasus rumoh geudong adalah teukeupak paling mutakhir. Publik begitu marah kepada Pj Bupati Pidie, dengan tidak bermaksud membenarkan statement beliau. Ada yang patut kita renungi, jangan cuma sekadar teukeupak.
Ada banyak situs kekejaman perang yang tak berbekas, seperti kasus Arakundo , simpang KKA, situs Tengku Bantaqiah, pos Matang Ubi di Lhoksukon yang sekarang jadi kantor Kejaksan, dan banyak lagi. Dan kenapa baru kali ini ribut banget. Sebelumnya pada kemana?
Lalu terhadap situs Rumoh Geudong dan situs situs lain atau peninggalan peninggalan bersejarah lainnya. Ngapain saja penguasa di Aceh selama ini? Kenapa mengabaikan? Kenapa lalai melestarikan? Padahal yang berkuasa kaum pejuang yang notabene punya benang merah dengan situs-situs masa konflik ini. Tiga periode sudah kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam penguasaan awak geutanyoe. Anggaran melimpah, tapi jangankan pembangunan yang monumental, situs-situs yang seharusnya dilestarikan nyaris punah.
Tidak salah sekarang reaktif alias teukeupak. Namun yang kita butuhkan adalah tindakan lebih nyata. Kerja-kerja yang terukur. Satu tindakan akan lebih bermakna dibanding berjuta kata-kata.
Saya pribadi mungkin pernah melihat dan membaca. Semisal di negeri seberang Malaysia. Ketika heboh beberapa gadis Melayu dipersunting pria perantau asal Pakistan yang terkenal ganteng dan muslim. Lalu usai nikah diperas dan ditelantarkan. Para pemimpin di sana langsung bersikap, membuat kebijakan untuk menindak pelaku dan menyelamatkan korban. Sebuah tindakan nyata dan komprehensif.
Begitu juga dalam kasus kasus lain, semisal kasus pedagang ilegal asal Aceh. Dari pada mereka usir yang akan merusak tatanan ekonomi mereka, mereka memilih membuat kebijakan win-win solution.
Dalam kasus kita di Aceh, begitu viral langsung banyak yang numpang tenar. Ketika isu meredup, semua diam. Tidak ada keputusan apapun dari para pihak yang bisa bertindak dengan kekuasaannya.
Jadi mari kritik diri kita sendiri. Para politisi berdirilah di cermin. Lihatlah kemudian buatlah kebijakan jangka pendek dan jangka menengah, rancang regulasi setelah teukeupak demi teukeupak. Dan paling penting, berhenti menyalahkan dan menuding. []